Cara Kalla untuk Negosiasi Damai

Standar

JAKARTA, KOMPAS.com – Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla menyebutkan ada banyak prasyarat yang harus dipenuhi agar proses negosiasi berjalan dengan baik dan pada akhirnya mampu mencapai tujuan utama, perdamaian antar pihak-pihak yang berkonflik.

Beberapa di antaranya terkait penetapan tenggat serta kerangka waktu yang ketat, efisiensi dan efektivitas dalam bernegosiasi, ketegasan, serta prinsip saling menghargai dan menjaga kehormatan masing-masing pihak. Hal itu disampaikan Kalla, Jumat (30/7/2010), saat berbicara dalam workshop bertema “Penyelesaian Konflik di Filipina Selatan dan Thailand Selatan” yang diselenggarakan Uni Eropa dan ASEAN di Jakarta.

Dia memaparkan kiat dan pengalamannya menuntaskan sejumlah konflik mulai dari Ambon, Poso, dan Aceh. “Dari pengalaman saya, yang namanya bernegosiasi harus dibatasi. Jangan pernah lebih dari lima kali pertemuan. Kalau lebih dari itu, pembicaraan pasti akan melebar kemana-mana. Selain itu juga pelajari terlebih dahulu sejarah dan akar persoalan,” ujar Kalla dalam workshop.

Selain itu penting juga menurut Kalla, untuk bernegosiasi tanpa mengakibatkan salah satu pihak kehilangan muka. Oleh karena itu lah saat bernegosiasi dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Kalla tidak pernah meminta mereka menyerahkan diri karena dengan begitu posisi menjadi tidak seimbang.

Saat itu Kalla menyatakan dengan tegas meminta hanya dua hal kepada GAM, menyerahkan senjata dan tidak lagi meminta merdeka. Kedua syarat yang diajukan tadi, menurut Kalla, sangat sederhana sehingga mudah diimplementasikan namun tetap prinsipiil.

“Saya juga pernah beri nasihat serupa pada pemerintah Sri Lanka ketika mereka meminta masukan dalam upaya mencari solusi konflik di sana. Saya katakan, tidak mudah memang bernegosiasi tanpa membuat salah satu pihak kehilangan muka. Salah satunya jangan meminta salah satu pihak menyerah karena mereka akan kehilangan muka,” ujar Kalla.

Tidak hanya itu, Kalla juga mengingatkan agar dalam perundingan harus selalu diupayakan untuk menyederhanakan pihak-pihak yang terlibat. Dia mencontohkan, akan sangat sulit untuk bernegosiasi jika ada terlalu banyak faksi seperti dalam konteks konflik di Filipina Selatan.

Hal serupa dia terapkan saat bernegosiasi dengan GAM. Dia menetapkan hanya bernegosiasi dengan pimpinan GAM di Swedia sementara terhadap faksi-faksi GAM yang tinggal atau menjadi warga negara Malaysia atau Singapura, Kalla meminta pemerintahan negara bersangkutan memaksa warganegaranya itu agar mendukung proses negosiasi.

Kalla lebih lanjut menceritakan, sesaat menjelang tahap negosiasi dirinya mengumpulkan 10 duta besar untuk dimintai masukannya. Mereka antara lain dari Amerika Serikat, Inggris, Swedia, Malaysia, dan Singapura.

Kepada Dubes AS saat itu dia tanya mengapa AS menyerang Afghanistan. Duta Besar AS bilang, di negara itu ada mastermind serangan 911. “Saya bilang logis. Tapi apa dengan logika sama Indonesia harus mengebom Stockholm mengingat pimpinan GAM ada di Swedia? Lalu saya juga tanya Dubes Malaysia dan Singapura soal apa langkah mereka kalau ada pemberontak di negara mereka warganegara Indonesia,” ujar Kalla.

Menurut Kalla, kedua duta besar menjawab seragam, akan meminta dan memaksa pemerintah RI untuk menangani warganegaranya yang mengacau di Singapura atau Malaysia tadi. Hal serupa juga kemudian dia minta ke kedua negara tadi agar memaksa warganegara masing-masing tidak mengganggu proses perundingan karena Kalla menyatakan hanya mau bernegosiasi dengan satu faksi saja, pimpinan GAM di Swedia.

Lebih lanjut dalam workshop, Direktur Peace Mediation and Dialogue Crisis Management Initiative, Antje Herrberg, mengingatkan saat ini ada kecenderungan cara tradisional dalam bernegosiasi dan berdiplomasi banyak mengalami kegagalan dalam upaya mengatasi konflik yang terjadi di sejumlah negara.

Tinggalkan komentar